Alun-Alun Utara Jogja Jadi Pusat Budaya Tapi Trotoarnya Mirip Pusat Grosir
Alun-Alun Utara tampil makin kinclong. Dua beringin masih kokoh berdiri, jadi simbol persatuan. Tapi persatuan macam apa kalau jalur pejalan kaki di sekitarnya malah jadi lahan rebutan parkir motor dan PKL ngopi-ngopi.
Pemkot Jogja rajin ngumumin paket strategis. Mulai dari talud sungai sampai penerangan jalan. Tapi soal trotoar yang berubah fungsi jadi showroom motor dadakan, belum masuk radar serius. Padahal ini muka kota.
Jalan Veteran dan Lowanu udah dibangun trotoar lebih dari satu setengah meter. Tapi ukurannya kalah sama niat PKL dan tukang parkir buat naruh dagangan dan motor. Kanstin udah dipasang, tapi kayaknya cuma buat formalitas proyek.
Akses ke Alun-Alun dari Malioboro bisa jalan kaki. Katanya sepuluh menit. Tapi kalau trotoar penuh becak, motor, dan gorengan, ya bisa-bisa dua puluh menit sambil olahraga zig-zag dan tebak-tebakan bau sosis bakar.
Setiap malam, Alun-Alun ramai pertunjukan budaya. Gamelan, tari-tarian, kembang api waktu tahun baru. Tapi jangan salah, atraksi parkir liar dan tukang dagang nyerobot trotoar juga bagian dari hiburan rakyat.
Anggaran Pemkot untuk kebencanaan 2025 hampir enam miliar, fokusnya edukasi dan sosialisasi. Tapi tidak ada untuk mitigasi motor ngebut di trotoar. Padahal kalau beringin bisa ngomong, mungkin dia protes juga.
Jogja katanya kota budaya. Tapi budaya sopan santun buat jalan kaki kok makin langka. Kalau semua trotoar jadi lahan ekonomi, ya siap-siap pejalan kaki minggir terus. Lama-lama pejalan kaki cuma ada di mural.