Di Jogja, Jalan Kaki Bukan Hak, Tapi Tantangan Mental dan Fisik Sekaligus
Di Yogyakarta, pejalan kaki tak lagi jadi tuan rumah di trotoar. Mereka cuma numpang lewat, itupun kalau enggak disalip motor matik yang buru-buru ngejar hidup. Trotoar jadi jalur cepat darurat, lengkap dengan klakson dan knalpot.
Data dari Dinas Perhubungan DIY menunjukkan motor mendominasi 56 persen moda transportasi selama Natal dan Tahun Baru. Di atas rata-rata nasional. Pejalan kaki? Gak masuk statistik. Mungkin dianggap mitos urban, kayak tuyul tapi bawa totebag.
Fenomena ini bukan masalah, kata Pemda DIY. Mereka menyebutnya kreativitas warga. Kalau warga sampai naik motor ke trotoar, itu tandanya warga inovatif. Di Jogja, pelanggaran bisa jadi bagian dari seni instalasi lalu lintas.
Pemda DIY memang pernah menata Malioboro jadi zona bebas kendaraan tiap Selasa Wage. Tapi ini mirip diet cheat day. Sisanya, jalanan tetap milik motor. Yang jalan kaki hanya dapat bagian trotoar yang nggak dipakai parkir atau warung kopi dadakan.
Data dari Polresta Yogyakarta tahun 2024 mencatat 824 kecelakaan dan 994 korban. Memang tidak semua karena trotoar, tapi kalau jalan kaki saja harus ngelindur sambil waspada diserempet, jelas ini bukan kota yang aman untuk sepatu kets.
Warga bilang perlunya polisi khusus jaga trotoar. Tapi sementara ini, yang dikawal justru abdi dalem. Padahal Permen PU tentang pejalan kaki sudah jelas. Trotoar harusnya ada lampu, pagar, marka. Bukan spion motor dan helm ngegantung.
Jogja istimewa, tapi sayangnya tidak untuk pejalan kaki. Jalan kaki di trotoar Jogja itu seperti ikut survival show. Cuma yang kuat nyali dan tahan malu yang bisa bertahan. Sisanya, naik motor juga akhirnya. Demi keselamatan dan kecepatan.