Pemda Jogja Sudah Buat Aturan Tapi Parkir Liar Tetap Jadi Raja Jalanan
Wisata ke Malioboro makin interaktif. Bukan cuma soal belanja dan selfie, tapi juga soal teka-teki moral. Mau bayar resmi lima ribu ke mesin, atau bayar sepuluh ribu ke bapak-bapak misterius berkostum hansip?
Tarif parkir liar makin variatif. Mobil bisa dikenai dua puluh ribu, motor kadang sampai sepuluh ribu. Karcisnya bukan dari mesin, tapi dari kertas sobekan. Kalau ditanya, jawabannya selalu sama, ini tarif kendaraan besar.
Pemda Yogyakarta lewat Perwali sudah tetapkan tarif e-parking. Mobil lima ribu untuk dua jam pertama. Tapi realitanya, parkir liar lebih strategis. Mesin e-parking kalah start dari manusia yang nyegat pintu masuk Malioboro.
Dishub Kota Jogja sudah pasang mesin e-parking dan promosiin Trans Jogja. Tapi selama parkir liar lebih dekat dari ATM terdekat, wisatawan tetap pilih bayar cepat ke tukang parkir tembakan.
Warga sadar ini ilegal, tapi juga sadar harus realistis. Parkir resmi ada di TKP Senopati, tapi harus jalan tujuh ratus lima puluh meter. Parkir liar ada di depan mata. Mungkin sistem transportasi kita kalah logika dari satu lembar uang merah.
Retribusi parkir resmi bocor sampai tiga puluh persen. Uang yang harusnya masuk kas daerah malah masuk kantong siapa saja yang punya rompi dan peluit. Polresta Jogja katanya menyelidiki, tapi petugas di lapangan sering hilang jejak.
Solusinya bukan sekadar mesin. Butuh pengawasan nyata dan penataan zona parkir. Bukan cuma pasang papan larangan. Kalau tidak, Malioboro akan terus jadi lahan parkir liar dengan tarif suka-suka dan sistem kejujuran paksa.