Notifikasi
General

Jogja Bukan Lagi Kota Murah, Buruh Demo Desak Upah Layak dan PHK Dihentikan


Ringkasan Berita
  • Audiensi buruh Jogja di DPRD DIY jadi sorotan nasional dengan enam tuntutan serius.
  • Outsourcing dianggap merugikan pekerja dan dituntut untuk segera dihapus.
  • Buruh mendesak satgas khusus agar PHK sepihak bisa dicegah sejak dini.
  • Reformasi pajak buruh diminta agar daya beli pekerja meningkat signifikan.
  • Taru Martani jadi contoh konflik lama yang akhirnya meledak ke publik.

Suara Buruh DIY yang Bikin Gedung Dewan Riuh

Pertemuan MPBI DIY dengan Komisi D DPRD DIY pada akhir Agustus kemarin bikin suasana gedung dewan lebih rame daripada konser musik. Mereka datang bukan buat nyanyi tapi menagih janji negara soal kesejahteraan. Topiknya berat tapi gayanya tetap kompak dan penuh semangat.

Audiensi ini bagian dari aksi serentak di 38 provinsi. Jadi bukan hanya Jogja yang panas, seluruh Indonesia ikut bergemuruh. Dari Sabang sampai Merauke, suara buruh sama lantangnya menuntut perubahan nyata. Di Jogja, isu lokal PT Taru Martani jadi bumbu utama.

Ketua Komisi D DPRD DIY RB Dwi Wahyu kelihatan serius menanggapi. Ia janji akan menindaklanjuti suara yang disampaikan buruh. Buat para pekerja, momen ini lebih dari sekadar tatap muka. Ini soal masa depan dompet mereka dan keberlangsungan keluarga.

Tuntutan Hapus Outsourcing Biar Hidup Gak Cuma Kontrak

Sistem outsourcing dianggap seperti hubungan tanpa kepastian. Hari ini kerja besok bisa bubar. Buruh muak dengan model ini dan minta PP 35 Tahun 2021 dicabut. Mereka ingin status tetap bukan kontrak yang bisa putus tiap saat.

Kalau tuntutan ini dipenuhi, pekerja bisa bernafas lega. Gak lagi dihantui gaji murah atau kerja tanpa jaminan. Bagi mereka, stabilitas kerja itu bukan kemewahan tapi kebutuhan pokok. Sama pentingnya dengan nasi kucing di angkringan.

Outsourcing dinilai bikin jurang kaya dan miskin makin lebar. Perusahaan senang karena hemat biaya, pekerja menderita karena kehilangan hak. Jadi jelas kenapa buruh Jogja sampai rela panas-panasan teriak di depan DPRD.

PHK Sepihak Bikin Pekerja Trauma dan Serikat Ngamuk

Buruh menolak diperlakukan seperti tisu sekali pakai. Gelombang PHK sepihak bikin mereka geram. Karena itu mereka menuntut Satgas PHK khusus yang bisa jadi wasit adil saat perusahaan seenaknya memutus kontrak.

Kalau Satgas ini beneran dibentuk, buruh punya pegangan kuat. Setidaknya ada lembaga yang bisa menegur perusahaan nakal. Mereka tidak lagi sendirian menghadapi surat PHK yang datang kayak kilat tanpa hujan.

PHK sepihak bukan cuma soal kehilangan kerja. Itu juga soal harga diri dan masa depan keluarga. Makanya tuntutan ini dianggap krusial. Karena di balik setiap pekerja ada anak istri yang menunggu makan malam di rumah.

Reformasi Pajak Jadi Senjata Buruh Lawan Ketimpangan

Pajak selalu jadi topik sensitif. Buruh menuntut kenaikan PTKP dari 4,5 juta ke 7,5 juta per bulan. Bagi mereka, potongan pajak yang mencekik harus diubah biar gaji bisa lebih terasa. THR dan pesangon pun diminta bebas pajak.

Buruh perempuan juga ikut bersuara. Mereka menolak diskriminasi pajak bagi yang sudah menikah. Karena kontribusi mereka di rumah dan kantor sama besarnya. Negara harusnya mendukung, bukan malah membebani.

Kalau reformasi ini jalan, daya beli pekerja bisa meningkat. Uang mereka bisa muter di pasar tradisional, kafe indie, sampai toko online. Ekonomi lokal pun ikut bergerak. Jadi tuntutan ini jelas masuk akal.

Taru Martani 1918 Jadi Simbol Konflik Lama yang Meledak

Masalah klasik di PT Taru Martani bikin buruh makin panas. PKB mandek, struktur upah gak jelas, sampai lembur dipotong seenaknya. Situasi ini bikin karyawan serasa jadi pion dalam catur perusahaan.

Survei internal mengungkap 70 persen karyawan merasa tidak betah. Bahkan HRD baru pun kabur setelah dua bulan kerja. Semua karena gaya manajemen yang dianggap arogan dan tidak peduli kondisi lapangan.

Direksi membantah tuduhan itu. Mereka bilang gaya kepemimpinannya tegas bukan arogan. Tapi bagi buruh, tegas tanpa adil rasanya sama saja. Apalagi kalau gaji 25 tahun kerja hampir sama dengan karyawan baru.

Legislator Janji Jadi Penengah Tapi Buruh Tetap Waspada

Komisi D DPRD DIY berjanji akan memfasilitasi pertemuan direksi, komisaris, hingga inspektorat. Harapannya konflik di Taru Martani bisa mereda. Tapi buruh tetap skeptis karena janji tanpa bukti sering jadi cerita lama.

Di level nasional, aksi Jogja jadi bagian dari gelombang besar. Serikat pekerja dan Partai Buruh ikut mengusung tuntutan kenaikan upah minimum 2026 sebesar 8,5 sampai 10,5 persen. Angka ini bukan asal tebak tapi hitungan kebutuhan hidup layak.

Presiden Prabowo pun sempat berjanji akan memperhatikan kesejahteraan buruh. Katanya, kalau rakyat berpenghasilan rendah dapat gaji layak, daya beli naik dan ekonomi ikut terdongkrak. Buruh pun menunggu janji itu diwujudkan.

Kesenjangan Upah DIY Jadi Alasan Buruh Naikkan Suara

UMK di DIY cuma dua jutaan, jauh di bawah kebutuhan hidup layak yang ditaksir 3,5 sampai 4 juta. Buruh merasa hidup di Jogja murah itu mitos lama yang sudah basi. Sekarang kos, makan, dan bensin juga ikut naik.

Makanya tuntutan kenaikan upah sampai 50 persen di 2026 jadi wajar. Buruh Jogja capek ketinggalan dibanding Jakarta atau Bandung. Mereka tidak minta kaya raya, hanya ingin bisa bayar kontrakan tanpa gali utang.

Selama sistem pengupahan masih pakai formula lama, buruh sulit sejahtera. Inflasi dan ketimpangan daerah bikin mereka makin tertekan. Karena itu gerakan ini dianggap momentum untuk perubahan nyata.
Posting Komentar
Kembali ke atas