Realita Dana Reses dan Kaitannya dengan Aspirasi Masyarakat
Di tengah gemuruh polemik kenaikan dana reses DPR RI yang mencapai ratusan juta, suasana di tingkat akar rumput justru menampilkan realita berbeda. Anggota DPRD di pelosok Gunungkidul atau kawasan urban Bantul menjalankan reses dengan anggaran yang tak sebanding, memantik tanya tentang kesenjangan yang terasa begitu lebar antara pusat dan daerah.
Ringkasan Artikel:
- Perbandingan mengejutkan dana reses DPR RI dan DPRD DIY.
- Mekanisme dan formula penganggaran di tingkat daerah.
- Dampak kesenjangan terhadap pelayanan publik lokal.
- Transparansi sebagai kunci membangun kepercayaan masyarakat.
Fakta Terkait Dana Reses Pusat dan Daerah
Perbandingan angka dana reses antara tingkat pusat dan daerah membuka mata banyak pihak. Anggota DPR RI periode 2024-2029 dikabarkan menerima Rp702 juta per orang untuk setiap masa reses. Angka ini memicu polemik nasional dan menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan.
Sementara itu di level daerah, realitanya jauh berbeda. DPRD Kabupaten Bantul mengalokasikan Rp1,98 miliar untuk tunjangan reses seluruh anggotanya. Dengan 45 anggota dewan, angka ini setara dengan Rp44,1 juta per orang per tahun. Perhitungan serupa juga terlihat di kabupaten lain di DIY.
Di Sleman, alokasi tunjangan reses mencapai Rp2,2 miliar untuk 50 anggota dewan. Jika dibagi rata, setiap anggota mendapat sekitar Rp44,1 juta per tahun. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan di tingkat pusat, padahal beban kerja di akar rumput tak kalah kompleks.
Mekanisme Penganggaran di Tingkat Daerah
Bagaimana sebenarnya mekanisme penentuan anggaran reses di tingkat daerah? Ternyata, besaran tunjangan reses untuk DPRD diatur melalui formula khusus berdasarkan kemampuan keuangan daerah. Formula ini mengacu pada peraturan menteri dalam negeri dan pergub DIY.
Sistem perhitungannya menggunakan kelipatan uang representasi ketua DPRD. Besaran uang representasi ini sendiri biasanya disesuaikan dengan gaji pokok kepala daerah. Inilah yang menyebabkan variasi angka antar daerah meski masih dalam satu provinsi yang sama.
Di Kota Yogyakarta, mekanisme ini diterapkan dengan mempertimbangkan kemampuan APBD. Pola serupa juga terlihat di Kulonprogo dan Gunungkidul. Sistem berbasis kemampuan daerah ini dianggap lebih mencerminkan realitas ekonomi setempat.
Dampak Kesenjangan terhadap Masyarakat
Kesenjangan anggaran ini bukan sekadar persoalan angka di atas kertas. Yang lebih penting adalah dampaknya terhadap kualitas penjaringan aspirasi masyarakat. Reses seharusnya menjadi mempat emas bagi warga untuk menyampaikan keluhannya langsung kepada wakil rakyat.
Di tingkat daerah, anggota DPRD seringkali lebih dekat dengan konstituennya. Mereka bisa dijumpai di warung kopi, pertemuan RT, atau acara syukuran warga. Namun keterbatasan anggaran kadang membatasi ruang gerak mereka dalam menampung aspirasi.
Masyarakat sebenarnya tak terlalu mempersoalkan besaran angka. Yang lebih penting bagi mereka adalah manfaat yang dirasakan. Apakah dana reses itu benar-benar digunakan untuk mendengar keluh kesah rakyat, atau sekadar menjadi penghias laporan pertanggungjawaban.
Transparansi sebagai Kunci Kepercayaan
Kedepannya, transparansi dalam pelaporan menjadi kunci utama. Baik di tingkat pusat maupun daerah, mekanisme pertanggungjawaban yang jelas akan membangun kepercayaan publik. Masyarakat berhak tahu bagaimana dana mereka digunakan.
Beberapa pengamat menyarankan penggunaan aplikasi digital untuk memantau laporan reses. Dengan teknologi yang ada sekarang, seharusnya laporan kegiatan reses bisa diakses secara terbuka oleh publik. Ini akan meminimalisir potensi penyalahgunaan.
Harapannya, baik DPR RI maupun DPRD DIY bisa memberikan contoh baik dalam transparansi pengelolaan dana rakyat. Karena pada akhirnya, yang diinginkan masyarakat adalah pembangunan yang merata dan kebijakan yang tepat sasaran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News





